Om Spinoza, Mari Tiup Lilin! Ga Mau, Ya? Yaudah Deh Kalo Gitu: Sebuah tulisan mini untuk seorang pemikir yang gemar sendirian, kesepian, dan oh… gue ga kuat nulis judul

spinoza

Sumber Gambar

Ditulis oleh: Aldo Fernando, seorang yang gemar boker pagi2

Baruch (dalam bahasa Yahudi) alias Benedictus (dalam bahasa Latin) de Spinoza. Ia lahir di Amsterdam 24 November 1632. Ia seorang anak dari keturunan Yahudi Portugal. Seorang pemikir bebas. Ia hidup terisolasi sekaligus mengisolasi dirinya sendiri. Ia diekskomunikasi oleh kelompoknya, yang adalah rabbi2 di sinagog, pada umur 24 tahun karena dianggap bidah dan ateis. Tentu, sematan ateis untuk Spinoza perlu dipahami dalam kerangka penolakan Spinoza terhadap konsep tradisional Tuhan dalam agama Yahudi-Kristen dan mengganti konsep tersebut dengan ‘Tuhan atau Alam’. Gagasannya tentang Tuhan ini menggoyang kemapanan dogma agama baik Yahudi maupun Kristen di zaman Spinoza (Hardiman, 2004: 44).

Karena ekskomunikasi tersebut, Spinoza lalu meninggalkan kota kelahirannya dan pergi ke Den Haag. Kemudian, ia mengganti namanya dari Baruch (nama Yahudinya) menjadi Benedict de Spinoza (Warburton, 2011).

Spinozas menolak kekayaan, kekuasaan dan ketenaran karena hal tersebut dapat menghalanginya mencapai kebaikan hidup tertinggi. Ia pernah ditawari menjadi profesor di Universitas Heidelberg, namun ia menolak atas dasar sikap hidupnya yang menginginkan kesendirian dan ketenangan. Ia lebih suka mendiskusikan ide2nya dengan para pemikir yang mengunjunginya—salah satunya, filsuf dan matematikawan Gottfried Leibniz.

Sebenarnya, ia mewarisi kekayaan dari ayahnya yang kaya, namun ia puas bekerja hanya sebagai pengasah lensa (untuk mikroskop dan teleskop) dan mendapatkan sedikit uang dari orang2 yang mengagumi karya2 filsafatnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hidup Spinoza sangat asketik. Sayangnya, Spinoza mati muda, mirip dengan salah satu judul lagu Kelompok Penerbang Roket. Ia hidup ‘hanya’ sampai berumur 45 tahun. Salah satu penyebab kematian Spinoza mungkin karena pekerjaannya mengasah lensa yang—karena debu2 kaca—membuatnya menderita infeksi paru2 (Schacht, 2003: 49; Warburton, 2011).

Selama hidupnya, pinoza menulis sejumlah karya2 filosofis, salah satunya traktat yang berjudul Etika atau Ethica yang terbit setelah ia meninggal. Ethica Spinoza dianggap sebagai salah satu sistem metafisika paling hebat—sekaligus paling sulit dibaca—sepanjang sejarah filsafat, yang ditulis dengan tingkat keketatan dan presisi yang tinggi. Ia menulis dengan keketatan yang demikian karena ia menyukai geometri. Proofs (bukti2) dalam buku Ethicanya nampak seperti bukti2 geometris dan di dalamnya mencakup aksioma2 dan definisi2. Bedanya, kalau geometri berkutat pada topik2 seperti sudut2 segitiga dan keliling lingkaran, Ethica berbicara soal Tuhan, alam, kebebasan, dan emosi (Warburton, 2011).

Richard Schacht mencatat, motivasi yang melatarbelakangi Spinoza dalam membangun sistem filsafatnya bersifat eksistensial. Ya! Ada semacam hasrat mendalam untuk menggapai semacam ‘kebahagiaan abadi’, yang melampaui tegangan antara kenikmatan dan kesengsaraan duniawi. Spinoza ingin menggapai apa2 yang tak dapat musnah, yang abadi. Apa itu? Jawabannya: ‘cinta Tuhan’. Cinta Tuhan dianggap oleh Spinoza mampu membuatnya mencapai kebahagiaan abadi.

Ide Spinoza tersebut memiliki kemiripan dengan ide salah satu pemikir besar yang sering dianggap sebagai seorang eksistensialis: Kierkegaard. Namun, berbeda dengan Kierkegaard, Tuhan-nya Spinoza bukan sesuatu yang berbeda dengan dunia itu sendiri—dengan kata lain, Tuhan-nya Spinoza identik dengan struktur dunia atau alam. Selain itu, menurut Schacht, Spinoza tidak menganggap ‘lompatan iman’ dan penyangkalan rasio a la Kierkegaard mampu mencapai keakraban dengan Tuhan; menurut Spinoza, kita dapat mencapainya dengan menggunakan rasio murni (reason) seketat mungkin. Spinoza beranggapan bahwa segala hal bisa masuk ke dalam satu sistem besar dan cara untuk memahami hal tersebut adalah dengan kekuatan pikiran. Pendekatan filsafat a la Spinoza, yang menekankan pada rasio ketimbang eksperimen dan observasi, seringkali disebut Rasionalisme (Warburton, 2011).

Lalu, bagaimana cara menggunakan rasio seketat mungkin itu? Yakni, demikian Spinoza menulis dalam esei On the Improvement of the Understanding (Tractatus de intellectus emendatione), dengan menemukan cara atau metode yang tepat sehingga hal-ihwal dapat dipahami tanpa kekeliruan. Dalam Ethica, Spinoza kemudian menjabarkan hasil yang ia raih dengan menggunakan metode yang dibahas di dalam esei On the Improvement of the Understanding di atas (Schacht, hlm. 50).

Menurut Spinoza, mengetahui sesuatu berarti kita mengetahuinya dengan kepastian penuh atau tidak sama sekali. Spinoza kemudian menentukan pada kondisi apa pengetahuan yang niscaya komplet tersebut dapat diraih. Mengenai hal tersebut, ia mengajukan kriteria mengenai kepastian: keniscayaan logis (logical necessity) dan definisi yang baik atau memadai (adequacy atau kecukupan).

Mengenai keniscayaan logis, Spinoza menulis, sebagaimana dicatat Schacht (51), “hanya proposisi2 yang niscaya secara logis-lah yang pasti secara absolut; dan dengan demikian hanya proposisi2 yang niscaya secara logis, atau proposisi2 yang dideduksi dari proposisi2 yang niscaya secara logis, yang memenuhi syarat pengetahuan sejati”.

Menurut Spinoza, pengetahuan mengenai dunia harus sama pastinya dengan pengetahuan mengenai sebuah teorema dalam geometri—kalau tidak, itu bukan pengetahuan sama sekali. Dalam hal ini, Spinoza, seperti Descartes dan Leibniz, menggunakan geometri sebagai standar epistemologis filsafatnya (atau metafisikanya).

Mengenai kriteria kedua, menurut Spinoza, jika pengetahuan itu sejati, ia harus adekuat dengan hal yang diketahui. Jadi, kita tidak cukup mendasarkan diri pada keniscayaan logis tetapi juga kita harus merengkuh secara adekuat sifat atau esensi sesuatu. Ini berkaitan dengan apa yang Spinoza sebut ‘modus persepsi’. Menurutnya, hanya persepsi yang muncul ketika sesuatu diketahui semata2 melalui esensinya sajalah yang memadai untuk merengkuh pengetahuan sejati. Ia memberi contoh, ‘ketika, dengan mengetahui esensi pikiran [atau jiwa], saya tahu bahwa jiwa tergabung dengan tubuh…; bahwa dua ditambah tiga sama dengan lima….”

Sebagaimana telah disebut di atas, dalam membangun sistemnya Spinoza menggunakan metode tertentu, yang dapat dibedakan menjadi dua jenis: (1) metode menaik dan (2) metode menurun (Schacht, 53). Dalam esei On the Improvement of the Understanding, Spinoza menggunakan metode menaik. Dengan metode menaik, Spinoza bertujuan untuk meningkatkan pemahaman individu sampai pada titik di mana suatu pengetahuan tentang perkara metafisika paling fundamendal tercapai. Ia ingin mencapai ‘puncak kebijaksanaan’, yang terdiri secara prinsipil dari sejenis pengetahuan mengenai kodrat Tuhan dan identitasnya dengan dunia.

Sementara itu, di dalam Ethica, Spinoza menggunakan metode menurun. Dalam metode ini, Spinoza memulai dengan menyatakan kebenaran2 mengenai Tuhan dan dan dunia dalam bentuk definisi2, dan kemudian menarik implikasi2 logisnya untuk hal yang lebih partikular. Dua metode tersebut, menurut Schacht, tidak saling berkontradiksi satu sama lain; malahan saling melengkapi. Metode menaik berarti dimulainya metafisika; metode kedua, yang dieksekusi dalam Ethica, berarti bahwa metafisika Spinoza diselesaikan.

Di bawah ini kita akan sedikit membahas konsep Tuhan dalam Ethica.

Tentang Tuhan. Tuhan sama dengan Alam, Deus sive Nature, demikian kata Spinoza. Tidak ada hal yang bukan Tuhan. Tuhan tak terbatas. Kita semua bagian dari Tuhan, demikian pula batu, kuda, rumput, apel, pintu. Menurut Spinoza, Tuhan adalah sesuatu yang secara absolut tak terbatas—yakni, sebuah substansi, yang memiliki atribut tak terbatas. Substansi, bagi Spinoza, adalah sesuatu yang ‘ada pada dirinya sendiri dan dipahami melalui dirinya sendiri’, sedangkan ‘atribut’ adalah sesuatu yang ditangkap intelek sebagai hakikat substansi, contohnya: keluasan, pikiran, dll—dan lalu ‘modus’ adalah ‘hal2 yang berubah-ubah pada substansi’, contohnya warna, ukuran, dlsb (Hardiman, 2004: 47-48).

Spinoza berpendapat bahwa hanya ada satu substansi di dunia ini: itulah Tuhan atau Alam (Schacht, hlm. 57). Satu substansi tidak dapat dihasilkan atau tidak dapat disebabkan oleh substansi lainnya (causa sui), dan bahwa tidak bisa ada dua atau lebih substansi yang memiliki atribut yang sama. Menurut Spinoza, substansi lain tidak bisa eksis, karena jika demikian, mereka akan memiliki sejumlah atribut, dan hal tersebut akan berarti sama dengan atribut Tuhan. Lalu, Spinoza menuliskan konsekuensi dari penalaran semacam itu: selain Tuhan tidak ada substansi yang dapat dibolehkan (I: Pr. XIV) dan dengan demikian apapun yang ada berarti berada dalam Tuhan (I: Pr. XV) (Schacht, 57).

Dalam pemikiran Spinoza, Tuhan bukanlah seorang kakek tua berjenggot di atas sana, atau sesuatu yang mau mendengarkan doa umatnya. Tuhan Spinoza bukanlah Tuhan dalam bentuk antropomorfisme, yakni hasil proyeksi kualitas manusia, seperti belas kasih, kepada sesuatu yang bukan manusia, yakni Tuhan. Tuhan Spinoza bersifat impersonal dan tidak peduli dengan apapun dan semua orang. Kita perlu mencintai Tuhan, kata Spinoza, tapi jangan berharap ia juga akan mencintai kita. Cinta Spinoza kepada Tuhan sendiri berdasarkan pada cinta intelektual kepada Tuhan, sebuah cinta yang didasarkan pada pemahaman mendalam yang diraih oleh akal atau rasio (Warburton, 2011).

Sebagaimana telah ditulis di atas, Tuhan bagi Spinoza tidak dapat dibedakan dengan dunia secara keseluruhan. Bagi Spinoza, Tuhan tidak bertindak berdasarkan ‘kebebasan kehendak’; sebaliknya, Tuhan dideterminasi dalam semua hal yang ia lakukan dengan keniscayaan kodrat esensialnya. Tuhan ‘bebas’, kata Spinoza, Tuhan ‘penyebab bebas satu2nya’. Tuhan bebas sejauh ia tidak dideterminasi oleh sesuatu di luar dirinya, karena ia—dan ia sendiri —adalah causa sui (penyebab pada dirinya sendiri). Segala hal, dengan demikian, bergantung pada Tuhan.

Lalu, bagaimana dengan kehendak bebas? Mengenai kehendak bebas, Spinoza termasuk ke dalam pemikir determinis. Maksudnya, ia percaya bahwa setiap tindakan manusa adalah hasil dari sebab2 sebelumnya. Kita membayangkan kita memilih secara bebas apa yang kita lakukan dan memiliki kontrol atas kehidupan kita. Tapi itu karena kita biasanya tidak memahami cara2 dalam mana pilihan2 dan tindakan2 kita terjadi. Kehendak bebas adalah sebuah ilusi–karena tidak ada tindakan bebas yang spontan sama sekali (Warburton, 2011).

Kebebasan manusia, menurut Spinoza, berkaitan dengan emosi. Kita dibelenggu oleh emosi kita sehingga kita tidak bebas. Di dalam emosi tercakup adalah hasrat, kenikmatan dan rasa sakit. Emosi bersifat pasif. Ketika sesuatu yang buruk terjadi, misalnya seseorang mengejek anda, dan anda marah dan benci dengan orang itu, inilah yang disebut dengan cara eksis yang pasif. Yakni, anda hanya bereaksi pada suatu peristiwa di luar diri anda. Anda tidak punya kontrol pada diri anda. Nah, Spinoza berpendapat, jika tindakan berasal dari dalam diri, maka orang bersikap aktif—dan sebaliknya. Dengan demikian, semakin manusia aktif, semakin dia sadar akan dirinya, semakin ia menyadari penyebab2 yang membentuk perilakunya, maka semakin bebaslah dia. Kita harus menyadari hubungan sebab akibat yang membelenggu tindakan kita agar kita bebas, demikian kata Spinoza. Dengan kata lain, kita harus menaklukkan emosi2 kita di bawah pilihan2 kita (Hardiman, 2004: 51; Warburton, 2011).

Omong2, soal Tuhan-nya Spinoza, selain George Eliot, Einstein mengakui dalam sebuah suratnya bahwa ia percaya dengan Tuhan dalam filsafat Spinoza—ya, bukan Tuhan personal. Udah gitu aja.

Kamar 5 Munggarani, 25/11/2017, 16:58 WIB

Tinggalkan komentar