Corat-Coret Tugas Mata Kuliah (Tentang Konsep Agroekologi dalam Perlindungan Tanaman)

Nama Lengkap Mahasiswa : Aldo Fernando
NPM : 150510130053 (Prodi Agroteknologi Fakultas Pertanian Unpad 2013)
Tugas No :

Konsep Agroekologi dalam Perlindungan Tanaman

Bab I. PENDAHULUAN

Agroekologi hadir sebagai pendekatan baru dalam sejarah pertanian (terutama sebagai ilmu/sains). Agroekologi merupakan gabungan tiga kata, yaitu agro (pertanian), eko/eco (lingkungan), dan logos (ilmu). Secara sederhana, agroekologi dimaknai sebagai ilmu lingkungan pertanian (Bagumono, Ekologi Pertanian, Yogyakarta: Leutikaprio, 2012: 2). Atau jika merujuk kepada Altieri (1983), agroekologi dapat didefinisikan sebagai penerapan kaidah-kaidah ekologi ke dalam ranah pertanian. (Dalam hal ini, pendekatan agroekologis memungkinkan kita juga untuk merajut metode interdisipliner yang di dalamnya mencakup analisis sosio-politik dan ekonomi serta relasi antara sains dan masyarakat.)

Pemahaman mengenai konsep agroekologi merupakan hal yang penting dalam strategi atau teknik perlindungan tanaman karena agroekologi memungkinkan kita untuk mampu memahami dan menganalisis jaring-jaring hubungan anasir (faktor, elemen penyusun) biotik dan abiotik di bidang pertanian sehingga kita dapat merumuskan dan memadukan beragam strategi dan taktik pengendalian terpadu hama dan penyakit tanaman. Kegiatan pengolahan tanah, pupuk, dan pengendalian hama ditujukan agar interaksi antara komponen penyusun ekosistem kebun/ladang mendukung pertumbuhan tanaman budi daya.

Sebagaimana kita ketahui bahwa perlu ada pendekatan baru dalam pertanian karena pertanian konvensional sudah tidak memadai untuk terus dikembangkan saat ini. Dalam hal ini, kita perlu memakai pendekatan agroekologis yang sesuai dengan teknik pengendalian hama terpadu dan konsep pertanian yang berkelanjutan (sebagai informasi: di Indonesia, konsep pertanian berkelanjutan tercantum pada UU no. 12 tahun 1992).

Pendekatan pertanian modern berbasis teknologi telah bertanggungjawab atas sejumlah kerusakan lingkungan yang ada (termasuk di dalamnya sistem ekonomi-politik kapitalisme itu sendiri). Misalnya, pemanfaatan metode monokultur mensyaratkan adanya keseragaman genetik dan spesies. Ini dapat menimbulkan konsekuensi terjadinya penurunan keanekaragaman biologis (biodiversity) makhluk hidup, menurunnya produksi tanaman budidaya (ditambah akibat adanya serangan hama penyakit tertentu yang bersifat spesifik di satu jenis tanaman) yang, pada analisis terakhir, mampu menimbulkan ketidakseimbangan alam.

Kemudian, sebagai contoh kedua, penggunaan intensif (atau bahkan overdosis) pupuk dan pestisida sintetis telah menimbulkan sejumlah persoalan: resurgensi atau ledakan hama, degradasi lahan, keracunan tanah, pengaruh negatif pestisida sintetik bagi manusia (dan makhluk hidup lainnya), matinya musuh alami—singkatnya, menimbulkan ketidakseimbangan ekosistem. Belum lagi, pertanian modern bercirikan high-intensive farming  system yang meningkatkan eksploitasi manusia terhadap alam. Inilah yang menjadi kajian ekologis yang vital bagi kelangsungan pertanian—dan dengan demikian, bagi kelangsungan hidup manusia secara keseluruhan.

Berangkat dari asumsi singkat di atas, maka materi perihal agroekologi (yang berguna bagi pemahaman mengenai agroekosistem) bagi konsep perlindungan hama terpadu dan gagasan pertanian berkelajutan (sustainable agriculture) memiliki derajat urgensi yang tinggi. Secara singkat, agroekologi, dapat dianggap sebagai “a whole-systems approach to agriculture and food systems development based on traditional knowledge, alternative agriculture, and local food system experiences.”

 

Bab II. PEMAHAMAN SAYA TENTANG MATERI YANG DIBAHAS

Dalam mencerap dan mencerna materi perihal konsep agroekologi tersebut di atas (sewaktu materi tersebut dipaparkan dan didiskusikan di dalam kelas), saya mengalami beberapa proses tingkatan pemahaman. Sebelum perkuliahan dimulai saya masih memiliki pemahaman yang kabur mengenai konsep agroekologi dalam kaitannya dengan perlindungan tanaman. Saya masih memahami agroekologi sebagai ilmu yang merupakan derivat (turunan) dari disiplin ekologi yang memfokuskan kajiannya di bidang pertanian. Menurut pemahaman sekilas saya, agroekologi dengan demikian lebih menekankan pentingnya memperhatikan faktor lingkungan dalam budidaya pertanian.

Ini berarti membawa ilmu pertanian ke dalam ranah lingkungan dan mencari hubungan antar anasir yang menyusun suatu ekosistem pertanian (biotik dan abiotik). Hal ini bertujuan untuk menjawab sejumlah permasalahan yang ditimbulkan oleh strategi pertanian modern yang menjunjung mesinisasi (penggunaan mesin tanpa memperhatian ekses-ekses negatif ynag ditimbulkannya), mekanisasi serta pemakaian pupuk dan pestisida yang berlebihan—yang mengganggu stabilitas ekosistem (alam). Singkatnya, pemahaman saya masih berkutat pada asumsi bahwa masa depan pertanian bergantung pada konservasi lingkungan.

Setelah perkuliahan dimulai, seiring berjalannya waktu dan penjelasan dari dosen mengalir terus dengan baik, saya mulai mencoba memahami konsep-konsep mendasar agroekologi secara lebih jernih. Saya lalu berpikir bahwa tantangan (sekaligus merupakan pertanyaan mendesak) yang muncul hari ini adalah apakah kita sebagai manusia dapat mengeksploitasi ekologi dengan sistem pertanian intensif dan mengembangkan bentuk pertanian baru yang masih produktif namun tetap menjaga keseimbangan ekologis.

Dari penjelasan dosen dan slide power point yang dipaparkan di kelas saya mencatat sejumlah strategi agroekologi sebagai berikut: (1) penerapan polikultur (sebagai upaya memperbaiki pendekatan monokultur yang dapat mengancam keanekaragaman biologis); (2) kaya akan keanekaragaman genetik; (3) tanpa input sintetik (dalam hal ini, pupuk dan pestisida); (4) praktik budidaya yang memperkaya tanah; (5) pengendalian terpadu organisme pengganggu tanaman. Singkatnya, sebagaimana pernah ditulis oleh Altieri & Nicholls (2003, dalam http://www.unicamp.br/fea/ortega/agroecol/ecpestma.htm), bahwa “stable production must take place in the context of social organization that protects the integrity of natural resources and encourages the harmonious interaction of humans, the agroecosystem and the overall environment (produksi yang stabil harus melibatkan konteks organisasi sosial yang melindungi integritas sumberdaya alam dan mendorong interaksi yang harmonis antara manusia, agroekosistem dan lingkungan secara keseluruhan).

Berikut ini perbandingan model pertanian modern dan model pertanian berkelanjutan (Bargumono, 2012: 5-6):

  1. Pertanian modern (revolusi hijau):
  • Pengolahan tanah secara mekanik (mesin) sewaan
  • Bibit unggul hasil persilangan buatan
  • Bibit selalu beli dan butuh unsur hara tinggi
  • Penggunaan pupuk organik (buatan pabrik)
  • Tanah sawah kekurangan bahan organik
  • Pencemaran tanah, air, dan udara
  • Pengairan sistem irigasi
  • Pengendalian hama/penyakit secara rutin pakai pestisida buatan
  • Penggunaan hormon tumbuh
  • Makhluk hidup bukan sasaran mati
  • Ledakan hama sekunder
  • Polusi pestisida ke tanah dan air

2. Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture)

  • Menggunakan prinsip-prinsip ekologis
  • Penurunan penggunaan pupuk buatan dan memberikan pupuk organik
  • Penggunaan pestisida organik
  • Pengendalian HPT secara terpadu (IPM/PHT)

Dalam konteks pengendalian hama dan penyakit, menurut Altieri & Nicholls (2003)—hal ini selaras dengan pendapat Koul dan Cuperus (2006)—, pengendalian hama penyakit konvensional dan budidaya monokulktur dingggap sudah bangkrut dan menghadapi krisis lingkungan (enviromental crisis). Di antara krisis lingkungan tersebut adalah degradasi lahan, salinasi, polusi pestisida di tanah, air dan rantai makanan, menipisnya ketersediaan air tanah, homogenitas genetik dan kerentanan yang berhubungan dengannya. Menurut Altieri, kehilangan hasil panen akibar hama di pelbagai pertanaman, meskipun diiringi dengan peningkatan substansial dalam penggunaan pestisida sintetik merupakan sebuah simptom atau gejala dari krisis lingkungan yang memengaruhi pertanian (modern). Pertanian monokultur, demikian tulis Altieri & Nicholls, menggunakan tanaman budidaya yang bersifat homogenus secara genetik, yang karenanya, tidak memiliki mekanisme pertahan ekologis yang niscaya untuk menekan serangan dan populasi hama yang mengganggunya. Di samping itu, pertanian modern secara negatif memengaruhi atau menekan populasi musuh alami (predator dan parasit), yang tidak menemukan sumberdaya lingkungan yang niscaya dalam monokultur dan juga kesempatan untuk menekan hama (Altieri, 1994, dalam Altieri & Nicholls, 2003).

Yang menarik adalah bahwa menurut Altieri & Nicholls (2003), pendekatan IPM (Integrated Pest Management) atau PHT (Pengendalian Hama Terpadu) tidak mampu menelaah penyebab ekologis yang ada di dalam pertanian modern. Menurut mereka berdua, pendekatan itu masih mengandung sejenis pandangan yang sempit bahwa penyebab spesifik memengaruhi produktivitas dan upaya melampaui faktor pembatas (misalnya, hama serangga) melalui penggunaan teknologi-teknologi baru harus menjadi tujuan utama.

Dan karenanya, menurut mereka berdua, perlu adanya pendekatan baru dalam hal pengendalian hama penyakit, yang lebih berbasis lingkungan (untuk mendapatkan tanaman yang sehat). Yakni, melalui pendekatan EBPM atau ecologically based pest management (pengendalian hama berdasarkan ekologi) dan juga mengutamakan agroekosistem yang terdiversifikasi. Tantangan utama bagi para pengusung EBPM adalah menemukan sejumlah strategi yang mumpuni untuk mengatasi batasan-batasa ekologis yang dibebankan oleh monokultur. Penggunaan konsep ekologi dalam PHT diterapkan untuk menyokong proses-proses alamiah dan interaksi-interaksi biologis yang mengomptimalkan sinergi sehingga pertanian yang terdiversifikasi mampu menyokong kesuburan tanah, perlindungantanaman dan produktivitasnya sendiri melalui aktivasi biologi tanah, upaya daur-ulang nutrien-nutrien, peningkatan artropoda dan antagonis yang bermanfaat, dlsb. Meraih tujuan dalam agroekosistem yang sehat membutuhkan managemen (pengendalian) yang diarahkan pada upaya peningkatan kualitas tanah dan tanaman, sebagai penghubung antara tanah yangs ehat dan tanaman yang sehat merupakan hal yang fundamental bagi EBPM.

Sedangkan menurut Koul dan Cuperus (2006), tujuan spesifik dari EBPM seharusnya berfokus pada pengurangan risiko-risiko baik ekonomis maupun lingkungan. Demi tercapainya pendekatan EBPM, tujuannya adalah dengan membangkitkan pendasaran pengetahuan ekologi bagi keragaman sistem pertanaman, kompleksitas lingkunngan dan hama yang menyusun pertanian global yang memiliki implikasi yang dapat diraih dalam jangka-panjang melalui kolaborasi dengan para petani. Misalnya, menurut mereka berdua, polikultur menggunakan sistem pertanaman multilini telah menekantimbulnya penyakit dari beberapa patogen foliar.

In conclusion, tujuan utama dari rancangan agroekologis adalah untuk mengintegrasikan komponen-komponen sehingga efisiensi biologis secara keseluruhan meningkat, biodiversitas terjaga, serta produktivitas dan kapasitas melanjutkan-diri agroekosistem terjaga dengan baik (Altieri & Nicholls, 2003).

***

Mengenai hal yang paling penting dalam materi yang sedang dibahas adalah perihal penekanannya integrasi pertanian dan lingkungan. Ini membawa saya pada pemikiran bahwa manusia memang manunggal (menyatu) dengan alam—dan karenanya, harus terus menjaga keseimbangan alam. Kita memenuhi kebutuhan biologis (makan) kita sekaligus mampu menjaga alam: inilah inti dari pendekatan ekologi dalam ilmu pertanian.

Selain itu, saya juga tertarik pada bagian ini: upaya strategi agroekologi tanpa input sintetik (pupuk dan pestisida). Hal ini menarik perhatian saya sekaligus membuat saya bertanya-tanya. Sejauh mana kita mampu mengembangkan pertanian murni tanpa input sintetik? Mungkin pembahasan perihal input sintetik agak mengecewakan saya karena belum memadainya pemaparan perihal hal tersebut. Selain itu, kurang mendalamnya pemaparan perihal hubungan langsung antara pendekatan agroekologi dengan permintaan pasar (dalam hal ini, jejaring sistem kapitalisme global). Menarik untuk ditelisik bahwa eksploitasi dan degradasi lingkungan, dalam hal ini lingkungan pertanian, bergandengan tangan dengan sistem ekonomi kapitalisme (mungkin, ini akan menjadi pembahasan tersendiri dan membutuhkan kajian yang jauh lebih mendalam).

Saya juga merasa kurang puas dengan materi ajar yang dipaparkan di kelas. Menurut saya, materi tersebut kurang menarik perhatian mahasiswa. Jika saya boleh memberikan sekelumit saran, mungkin perlu ditayangkan video yang berhubungan dengan materi yang sedang dibahas agar lebih menarik dan lebih memudahkan proses pemahaman dan diskusi para mahasiswa. Kendala utama yang akan menyertai saran saya tersebut adalah durasi waktu kuliah yang ada dan juga kesiapan kawan-kawan mahasiswa untuk mendiskusikan video yang ditayangkan di kelas. Sekian.

(Dalam tulisan ini saya menggunakan sejumlah referensi pendukung untuk memperkaya pemahaman saya mengenai konsep agroekologi dalam perlindungan tanaman.)