Membaca Why Marx was Right

Gue lagi baca bukunya Prof Terry Eagleton, seorang Distinguished Professor Sastra Inggris di Universitas Lancaster, judulnya Why Marx was Right. Haha ngeri yaa judulnya.

Buku ini terbit pertama kali di tahun 2011 dan edisi keduanya diterbitkan oleh penerbit yang sama, Yale University Press, di tahun 2018. Mungkin buat menyambut #Marx200. Hehe…

Buku ini mau mencoba membantah sepuluh anggapan2 umum atau, lebih canggihnya, kritisme2 terhadap Marx berikut Marxisme, yang nantinya akan dijelaskan bahwa kritisisme2 tersebut tidak tepat sasaran.

Tentu, disadari juga oleh Terry bahwa, ‘Hal ini ga berarti Marx ga pernah keliru’.

Sepuluh kritisisme yang lazim dilemparkan ke Marx dan Marxisme itu dibagi menjadi sepuluh Bab dalam buku ini. Jadi, tiap bab mencoba memeriksa masing2 kritisisme2 dan membantahnya.

Bab Satu, misalnya. Terry ingin membantah soal anggapan bahwa ‘Marxisme sudah selesai’, bahwa dunia sudah berubah, dan ide2 Marxisme sudah ga relevan lagi di masyarakat posindustrial Barat.

Ini kutipan yang menarik haha…

Marxists want nothing more than to stop being Marxists.

Ya, kalau masih ada Marxis, dunia masih belum bebas. Kira2 begitu kata Terry.

Terry kemudian menulis bahwa kebanyakan kritikus Marxisme hari ini tidak mendebat poin utamanya. Mereka menganggap, ya, sekarang dunia udah berubah sejak Marx nulis Das Kapital. Jadi, ide2nya Marx ga relevan lagi lah…

Tapi, kata Terry, sebenarnya, ‘Marx sendiri sangat sadar soal sifat keterusberubahan dari sistem yang ia lawan [y.i., kapitalisme]’. Kita berutang pada Marxisme soal konsep bentuk historis yang berbeda2 dari kapitalisme, seperti merkantilis, agraria, monopoli, finansial, agraria, imperial, dll.

Kapitalisme itu sistem yang ingin dilampaui oleh Marx. Ya, kata Terry, kapitalisme telah menciptakan lebih banyak kemakmuran ketimbang yang telah sejarah saksikan, tapi harga yang harus dibayar juga gokil–astronomis. Sekitar lebih 2,5 milyaran orang mengalami kelaparan hebat pada 2001, ketimpangan kekayaan yang makin menganga, problem ekologis yang makin mengkhawatirkan, kawasan2 kumuh yang mengerikan, dlsb.

Batas akhir kapitalisme, demikian Marx menulis, adalah kapital itu sendiri. Logika kapitalisme belum berubah sampai hari ini. Ini membikin Marxisme masih relevan. Kalau mau ulasan soal pengantar memahami kapitalisme, silakan cek, misal, buku Pak Dede Mulyanto, Genealogi Kapitalisme (Resist Book).

Silakan membaca bukunya, ya!

Gue juga lagi mau ngelarin Bab 10 nih, soal gerakan antikapitalisme, antiglobalisasi, feminisme, enviromentalisme, gerakan penyokong hak binatang, yang dianggap merupakan bentuk gerakan politik baru yang telah meninggalkan Marxisme di belakang. Ya, soal kekunoan Marxisme–sebagai gerakan politik. Haduh wkwk

Kalau mau baca review atas buku Terry bisa klik di sini ya. Pengulas bukunya Terry ga puas dengan buku tsb. Kata dia,

… [F]or any admirer of Eagleton or Marx, the book is a disappointment. There is none of the logical precision, winning prose or intellectual ambition displayed most recently in Eagleton’s Yale lectures on faith. Part of the problem is the structure. This is a work of intellectual rebuttal, as chapter by chapter Eagleton takes on a century of misreading Marx. All of which means he is fighting on an enemy territory of dreary objections.

Di samping itu, tentu, ada pujian,

Thankfully, amid the banalities, there lurk some wonderful passages. Eagleton is right to stress the centrality of democracy to Marxian communism, as well as explain so successfully the nature of free will within Marx and Engels’s account of history. This is all very much the humanist, Paris Marx of the Economic and Philosophical Manuscripts.

Tapi, ya, kata Hunt, si pengulas buku,

In the end, this is another worthy volume in the rarely scintillating Marx-Engels interpretative canon. Useful for undergraduates at the University of Notre Dame, but not for anyone else interested in the drama, insights, and majesty of Marxism. Marx might well have been right about an awful lot, but sadly Eagleton fails to make you care very much.

Silakan nikmati. Selamat berpolemik!

Kamar 5 Munggarani, 27 Mei 2018 12:38 WIB

Membaca 3:AM Magazine

3:AM Magazine adalah salah satu situsweb yang wawancara dengan para filsufnya gue suka baca kalau lagi selow. Hehe

Gue suka dengan pertanyaan pertama yang diajukan dalam sejumlah wawancara dengan para filsuf: “What made you become a philosopher?”

Ini salah satu wawancara 3:AM dengan Kurt Bayertz, seorang filsuf yang fokusnya ke soal solidaritas, persoalan filosofis mengenai ras dan genetika, dll.

Di dalam wawancara tersebut Kurt Bayertz diminta berbicara mengenai Materialisme Jerman. Klik di sini ya.

Selamat membaca!

Kamar 5 Munggarani, 8/5/18 06:30 WIB

200 Tahun Karl Marx

Selamat ultah ke-200, Marx. Aku terus berusaha belajar darimu, belajar bersamamu mengenai kapitalisme. Semoga aku menemukan fondasi yang kokoh.

Mari baca artikel ini artikel ini. Dan artikel John Bellamy Foster ini.

Bisa juga unduh e-book yang disunting Christian Fuchs dan Lara Monticelli. Di dalamnya ada tulisan Fuchs, Zizek, Silvia Federici, David Harvey, Michael Hardt dan Antonio Negri, dlsb. Silakan klik tautan ini.

Bisa baca juga pembacaan yang segar dari Martin Suryajaya soal Marx di sini.

Kamar 5 Munggarani, 5 Mei 2018 06:32 WIB

Membaca (Lagi) Tulisan Marx Sewaktu ABG

Mencoba menyemangati diri dengan membaca (lagi) tulisan tugas ujian akhir sekolah menengah (Gymnasium) Marx sewaktu berusia 17 tahun. Judul tulisannya: Permenungan Seorang Pemuda akan Pilihan Profesinya. Gue baca tulisan tsb. via terjemahan dan suntingan Martin Suryajaya (2016).

Menariknya, sebagaimana ditulis Martin dalam pengantar singkat u/ tulisan tsb, di dalam tulisannya itu Marx sudah menuangkan sejumlah ide2 dasar yang bakal menyertai perkembangan pemikiran Marx di masa depan. Misalnya soal: ‘pengondisian individu dan hubungan sosial serta kesaling-hubungan dialektis antara bagian dan keseluruhan’.

Namun kita tak selalu meraih posisi yang mana kita merasa terpanggil. Hubungan2 kita dalam masyarakat dalam derajat tertentu telah ditetapkan sebelum kita berada dalam posisi untuk menentukannya.

Demikian tulis Marx muda. Ia lalu melanjutkan,

Kondisi fisik diri kita sendiri kerapkali menjadi rintangan yang mengancam dan tak bisa diremehkan begitu saja.

Aku setuju soal ini, Marx. Aku mencoba menjaga kesehatanku terus.

Betul bahwa kita dapat melampauinya. Namun kejatuhan kita juga akan lebih cepat, sebab itu ibarat kita mendirikan bangunan di atas reruntuhan yang lapuk. Akibatnya, keseluruhan hidup kita jadi seperti perjuangan yang tak bahagia antara asas pikiran dan tubuh. Akan tetapi, ia yang tak mampu mendamaikan unsur2 bertentangan dalam dirinya mana mungkin menangkal tekanan hidup dan bersikap tenang? Dari ketenangan sajalah tindakan yang besar dan baik dapat tumbuh–itulah tanah yang darinya buah2an yang masak dapat tumbuh berkembang.

Petunjuk apa yang mesti mengarahkan kita dalam pilihan profesi? Kata Marx yang masih ABG, petunjuk itu adalah

Kesejahteraan umat manusia dan penyempurnaan diri kita sendiri.

Dua hal itu saling melengkapi: orang ‘hanya bisa meraih kesempurnaan dirinya dengan cara bekerja bagi penyempurnaan sesamanya’ sehingga ‘[k]ebahagiaan kita akan jadi milik jutaan orang, perbuatan kita akan terus hidup, diam2 tetapi langgeng, dan di atas abu kita akan tumpah air mata hangat orang2 yang luhur.’

Menuju 200 tahun Marx.

Kamar 5 Munggarani, 3/5/18 21:37 WIB

Tesis Penggali Kubur

Apakah Marx-Engels keliru soal tesis penggali kubur?

Ini salah satu tesis Marx yang sering dikritik, dicemooh, dibuang, bahkan oleh para pemikir yang menganggap diri sebagai bagian dari tradisi Marxisme. Apa itu the gravediggers thesis?

Gue kutip dari tulisan Matt Vidal (April, 2018) di sini:

In the Communist Manifesto, Karl Marx and Friedrich Engels sketched what has come to be known as the gravedigger thesis, widely believed to propose that the objective conditions of capitalism would inevitably produce a revolutionary working class which would overthrow capitalism.

Tesis ini,

was published in the Communist Manifesto, a political pamphlet whose first edition was just 23 pages long. The thesis is articulated in a section of the Manifesto called “Bourgeois and Proletarians”, which presents a sketch of historical materialism beginning with ancient Rome and running through the 19th century in ten pages!

Soal ‘ramalan’ ketakterelakkan kaum buruh sebagai penggali kubur kapitalisme, Vidal menulis,

Although the Manifesto does use the term “inevitable” with regard to the gravedigger thesis, it must immediately be noted that it is a political pamphlet whose express purpose was to educate and organise the working class. Its very existence assumes that the development of revolutionary class consciousness is not inevitable; if it were, there would be no need for such a political manifesto. It presents a sketch of history aiming to show that capitalist economic relations generate class struggle, “lay the foundation” for a united working class and make possible the revolutionary transformation of capitalism into socialism.

The gravedigger thesis was never a scientific prediction based on a fully elaborated theoretical analysis. As Serge Mallet noted, in the Manifesto and Capital, “Marx elaborated the philosophical concept of the proletariat as the universal agent of history”. But in his journalistic writings, including The Eighteenth Brumaire and The Class Struggles in France, Marx was deeply attuned to the fragmentation of classes and the complex set of political and ideological processes needed for structurally based classes to develop into class conscious social movements. And while Marx emphasised “two great classes” in both the Manifesto and Capital, in the latter, as I show below, his mature analysis emphasised the obstacles to the formation of a united, class conscious proletariat, including the mystification of class relations by the dominant ideology, the material dependence on a wage, and rising living standard.

The gravedigger thesis is almost completely absent from Marx’s mature scientific writings. In the three volumes of Capital, comprising over 2,000 pages of text, Marx discussed it only in a three page section of volume 1, summarising the sketch advanced over six pages in the Manifesto.

Selengkapnya, silakan baca sendiri ya!

Kamar 5 Munggarani, 1/5/2018 19:51 WIB

Memoralisasi Masalah?

We have maybe even too much anti-capitalism, but in this overload of anti-capitalism, but always in this legal, moralistic sense: ooh, that company is using child slave labor; ooh, that company is polluting; ooh, that company is—that company, whatever, is exploiting our universities. No, no, the problem is more fundamental. It’s about how the whole system works to make the companies do this. Don’t moralize the problem, because if you moralize it, you can say in the States whatever you want.

Nemu kutipan Zizek di atas di sini. Udah gitu aja.

Selamat Hari Buruh!

Kamar 5 Munggarani, 1/5/2018 17:25 WIB