Sembilan Belas Tahun yang Lucu

Gue kepikiran (lagi) soal kekokohan cara berpikir gue. Kokoh dalam arti, bisa membangun pemikiran tanpa mengalami kontradiksi, atau minimal tidak asal main comot pemikiran anu, pemikiran ani.

Tapi, memang masih susah buat gue. Kalau dipikir2, dengan mempertimbangkan waktu2 yang akan datang, gue kemungkinan besar rada sulit buat menata cara berpikir ketat, kritis, filosofis dan ilmiah, seperti para penulis dan pemikir agung.

Ya, itu dari sisi pesimisme. Kalau gue menghidupkan lentera optimisme, yah gue masih selalu menyimpan harapan. 🙂 Ini bisa dilakukan dengan terus mencoba mencari celah waktu kosong dan menjaga kondisi tubuh dan pikiran agar sehat dan tenang.

Rupa2nya, tiga tahun lalu, lewat Arjuna Batara, gue menulis soal keresahan gue ini juga di Facebook. Berikut tulisan tololnya:


Arjuna Batara: Harus aku akui bahwa sepanjang perjalanan hidupku aku masih berada dalam keterbelahan pemikiran. Terdapat dua logika yang tak dapat direkonsiliasikan begitu saja. Mereka berdua saling menarikku ke ranah yang mereka maui: imanensi atau transendensi. Bagiku, ini bukanlah hal yang mudah. Ini bukanlah lelucon di siang bolong. Permasalahan eksistensial ini pun, menurutku, tidak dapat diselesaikan hanya dengan membaca buku dan mendengarkan uraian para ahli saja–sekali lagi, ini bukanlah hal yang remeh-temeh. Sebagai manusia, akupun tak pernah luput dari kedangkalan, ketololan, kegegabahan, kesalahan, dan rasa pesimis. Oleh karena itu, adalah salah apabila aku telah mereka (orang-orang) anggap menjadi bebas dan bahagia hanya karena aku telah mencapai titik ke 19 ini. Aku tidak menafikan sejumlah udara kesegaran yang telah menghidupi kegilaanku selama ini. Aku pun sangat berterima kasih kepada sejumlah orang hebat yang telah mengajakku memahami makna dunia ini.
. . .

Bagiku, dunia adalah tempat untuk terus membongkar dan menyusun diri–begitu seterusnya!


Kamar 5 Munggarani, 28/11/2017 16:01 WIB

Tinggalkan komentar